Minggu pagi ketika udara sudah mulai hangat, tampak empat ekor burung saling diam di dalam sangkarnya masing-masing, tak ada suara dan tak ada percakapan diantara mereka, mereka sepertinya sedang asyik melamun merenungi nasibnya di balik jeruji kandang sambil merasakan kandangnya bergelanyut di kawat cantol di sebuah pohon ceri, kecuali si Suren yang dari sejak digantang sibuk nyari ulat hongkong yang jatuh disela-sela Eenya di dasar kandang.
Keheningan tiba tiba buyar ketika datang warga baru di sebuah kandang jati ukir yang digantang disela-sela mereka. Seekor burung cantik, berbulu kuning langsat, bertubuh panjang, padat dan berisi.
“wow.. ini baru motor gede” celetuk kacer sambil pindah tangkringan atas merapat ke pinggir jeruji
“dulu juga ada bro.. jauh lebih cantik dari yang satu ini.. tapi sekarang entah pindah kemana” sahut Cerucuk sambil menatap kearah pendatang baru, tak bisa ditutup-tutupi, raut muka cerucuk tiba-tiba berubah tampak sendu seperti ingat masa lalu yang menyedihkan, ia alihkan dengan pura-pura mematuk buah pisang di kawat cantol di tepi kandang. Entah karena apa, ia salah mematuk-matuk bonggol buah pisang, sehingga tak ada secuilpun pisang di paruhnya, hal ini menyebabkan gelak tawa teman senasib dan seperjuangannya Kacer, Ijo, dan Suren.
“Hey semua... kenalin namaku Lina Kepudang” suara lembut yang seketika menghentikan gelak tawa mereka.
“emejing” suren menoleh dari dasar kandang yang kemudian